Shadaqah
Semua kata dalam berbagai bentuk
yang memiliki akar kata shad, dal, dan qaf, di dalam Al-Qur’an disebutkan
sebanyak 155 kali. Untuk kata shadaqah baik dalam arti mufrad(shadaqah) maupun jamak
(shadaqat) disebut dalam al-Qur’an sebanyak 13 kali. Shadaqah terambil dari
kata yang berarti “kesungguhan dan kebenaran”, Al-Qur’an menggunakan kata
inisebanyak 5 kali dalam bentuk tunggal dan 7kali dalam bentuk jamak ,
kesemuanya dalam konteks pengeluaran harta benda secara ikhlas. Tetapi, kata “
shadaqah” tidak hanya digunakan untuk pengeluaran harta yang bersifat sunnah
atau anjuran, tetapi juga untuk yang wajib. QS. At-Taubah:60
* $yJ¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pkön=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏBÌ»tóø9$#ur Îûur È@Î6y «!$# Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ( ZpÒÌsù ÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOÎ=tæ ÒOÅ6ym ÇÏÉÈ
60.
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana
Q.S
at-taubah: 60, membicarakan mustahiq(delapan
ashnaf) dengan menggunakan kata
“shadaqah” dalam arti zakat wajib.[1]
Dalam hadis-hadis nabi Saw., kata
shadaqah (yang akar katanya juga mengandung arti ketulusan) mempunyai makna
yang lebih luas daripada sekadar menolong orang lain dengan uang atau barang .
Setiap perbuatan kebajikan adalah sedekah, baik yang berupa harta tenaga maupun
pikiran. Di antaranya, sebagaimana dirawikan oleh bukhari bahwa beliau pernah
bersabda: “wajib atas setiap Muslim
bersedekah”.
Para Sahabat bertanya, “wahai Nabi Allah, bagaimana dengan orang
yang tidak memiliki sesuatu (untuk disedekahkan)?”
“Hendaklah ia bekerja dengan
tangannya, agar memperoleh keuntungan untuk dirinya sendiri, dan mampu
bersedekah.” “kalau ia tetap tidak mampu?” Tanya mereka lagi. “Hendaklah ia membantu orang yang teraniaya
ataupun lemah.” “Kalau ia tidak mampu juga?” “Hendaklah ia berbuat kebaikan dan
mencegah dirinya daripada melakukan kejahatan. Yang demikian itu menjadi
sedekah baginya.”[2]
Dalam kehidupan sehari-hari, kata “shadaqah” digunakan untuk pengeluaran
harta yang sifatnya sunnah, kata “zakat” untuk pengeluaran harta yang sifatnya
wajib, sedangkan kata”infaq” mencakup segala macam pengeluaran: harta atau
bukan, wajib atau sunnah, secara ikhlas atau dengan pamrih.[3] Agama
menganjurkan supaya bersedekah pada jalan Allah secukupnya apabila ada
kepentingan-kepentingan yang memerlukan, baik pada hal-hal tertentu ataupun
pada kemaslahatan umum.[4]
Pengelolaan zakat di Indonesia
Pengelolaan zakat di Indonesia,
hampir bisa dipastikan ada sejak Islam masuk Indonesia. Pada masa awal-awal
Islam di Indonesia, zakat dikeloala secara individual, belum terlembagakan secara
baik dan professional.[5]
a. Dasar Hukum Pengelolaan zakat [6]
1. Al-Qur’an dan Sunnah
Zakat sebagai salah
satu rukun Islam, merupakan salah satu bentuk peribadatan maliyyah-ijtima’iyyah yang disamping memiliki dimensi ruhiyyah (vertikal) juga memiliki dimensi
social tinggi. Kewajiban zakat bagi umat Islam ditetapkan bagi umat Islam
ditetapkan berdasarkan QS. Al-Baqarah(2): 110:
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4q2¨9$# 4 $tBur (#qãBÏds)è? /ä3Å¡àÿRL{ ô`ÏiB 9öyz çnrßÅgrB yYÏã «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# $yJÎ/ cqè=yJ÷ès? ×ÅÁt/ ÇÊÊÉÈ
“Dan
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu
usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
2. Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia
a. UU RI No. 38 Tahun 1999
b. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581
Tahun 1999
c. Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 Tahun 2000
d. Undang-undang No. 17 tahun 2000
e. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-163/PJ/2003.
Dengan disahkan UU RI No.38 tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat, maka Indonesia memasuki babak baru, secara umum UU ini
membawa angin segar bagiperkembangan zakat di Indonesia. Berdirinya BAZNAZ
(Badan Amil Zakat Nasional), Bazda Propinsi, Bazda kabupaten/ kotamadya, dan
Baz, Kecamatan serta LAZ( Lembaga Amil Zakat) dari berbagai tingkatan adalah bagian
dari realisasi dari amanat UU Pengelolaan Zakat, BAZNAS maupun LAZ NAS
dimaksudkan untuk melakukan peran koordinatif di antara lembaga-lembaga
pengelola zakat yang jumlahnya sangat banyak, meskipun sampai sekarang fungsi
tersebut belum bisa dijalankan secara optimal.[7]
Menurut Ahmad
Juwaeni, ada beberapa syarat dan langkah untuk mencapai sinergi lembaga-lembaga
pengelola zakat, yaitu:
1. Setiap pengelola zakat harus menyadari
bahwa tugas mengelola zakat adalah tugas dari Allah swt dalam rangka ibadah dan
harus mengutamakan kepentingan umat di atas yang lainnya.
2. Setiap pengelola zakat harus menyadari
bahwa zakat harus menyadari bahwa zakat yang dikelola adalah amanah dari Allah
swt amanah dari muzakki dan harus
dapat dipergunakan untuk membantu mustahiq.
3. Setiap pengelola zakat harus memupuk
kebersamaan dan tali persaudaraan sebagai sesame muslim dan antar organisasi pengelola
zakat
4. Perlu ada keputusan bersama untuk
menentukan program-program strategis apa yang harus dilakukan atau didahulukan
pada periode waktu tertentu. Keputusan ini harus dijadikan patokan semua organisasi
pengelolaan zakat.
5. Setiap pengelola zakat harus bersedia
melakukan sharing potensi, baik
berupa dana dan SDM maupun sarana dan fasilitas dalam rangka mewujudkan program
strategis itu.
6. Perlu ada komunikasi timbal balik yang
intensif untuk dapat memahami dan merespon perkembangan yang terjadi, sehingga
proses sinergi mengalami perbaikan dan peningkatan.[8]
[1] M.Quraish shihab, M. Quraish Shihaba Menjawab? 1001 Soal
Keislaman yang patut Anda ketahui,(Jakarta: Lentera Hati, 2009), Cet. VI,
hlm.513-516
[2] Muhammad Bagir
Al-Habsyi, Fiqih Praktis,(Bandung:
Mizan, 2002), hlm.330
[3] Supani, Zakat di Indonesia,(Yogyakarta: Grafindo
Litera Media, 2010), hlm.39
[4] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam,(Bandung: Sinar Baru
Algesindo, 2010), hlm.218
[5] Supani, Zakat di Indonesia, hlm.76.
[6] Ibid., hlm 6-15
[7] Ahmad Juwaeni, “ketika Zakat Ditunaikan Melalui Lembaga”, (Jakarta:
Forum Zakat[FOZ], 2006)., hlm.63-64
[8] Ibid., hlm. 65-66
Tidak ada komentar:
Posting Komentar